SANTRI.MEDIAJABAR.COM, BANDUNG – Buku Ajengan Cipasung karya Iip D. Yahya merupakan sebuahbiografi mendalam tentang KH. Mohammad Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatik dari Tasikmalaya yang dikenal luassebagai pengasuh Pondok Pesantren Cipasung serta Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1992–1999.
Buku ini menyuguhkan lebih dari sekadar riwayat hidup; iamenjadi refleksi yang kaya akan nilai spiritual, kepemimpinan, serta kontribusi dunia pesantren dalam membentuk karakter dan peradaban bangsa.
Ajengan Ilyas lahir dan tumbuh dalam lingkungan pesantrenyang kuat. Ia dididik langsung oleh ayahnya, KH. Ruhiat, pendiri Pondok Pesantren Cipasung. Meskipun tidak sempatmenempuh pendidikan ke berbagai pesantren lain seperti halnyabanyak ulama pada zamannya, Ajengan Ilyas dikenal sebagaipribadi yang sangat matang secara keilmuan maupun spiritual.
Sifat-sifat seperti kesederhanaan, kejujuran, konsistensi dalamamal, dan kerendahhatian menjadi ciri khasnya. Ia menekankanpentingnya menjalankan amalan secara terus-menerus (dawam), karena menurutnya, istiqamah hanya bisa diraih melaluiketekunan dalam kebiasaan-kebiasaan baik.
Sebagai pemimpin pesantren, Ajengan Ilyas berhasilmentransformasikan Cipasung menjadi pusat pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk santri untuk aktif berperan di berbagai sektorkehidupan, mulai dari kesenian, budaya, pendidikan, hinggaorganisasi keagamaan seperti NU dan MUI.
Sosoknyadipandang sebagai cerminan ulama tradisional yang mampumenyelaraskan antara nilai-nilai Islam dengan konteks sosial-budaya masyarakat Sunda. Salah satu aspek menarik yang ditampilkan dalam buku“Ajengan Cipasung” adalah kedekatan antara Ajengan Ilyas dengan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Hubungankeduanya tidak hanya terbatas pada ranah kelembagaan di tubuhNU, tetapi juga menunjukkan kedekatan emosional dan kesamaan visi mengenai Islam dan kebangsaan. Saat NU kembali ke khittah 1926, Ajengan Ilyas menjabat sebagai Rais Aam sementara Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.
Dalam dinamika organisasi ini, keduanya menjadi dua kutub yang saling melengkapi: Gus Dur dengan pemikiran progresif dan inklusifnya, serta Ajengan Ilyas dengan kebijaksanaan spiritual yang membumi.
Gus Dur dikenal sangat menghormati Ajengan Ilyas. Ia seringmenyebut Ajengan sebagai salah satu tokoh yang nasihatnyaselalu ia dengarkan, terutama dalam menghadapi persoalanbangsa dan umat.
Sebaliknya, Ajengan Ilyas sangat mendukungide-ide Gus Dur yang berani dan mengedepankan nilai toleransiserta hak asasi manusia. Kedekatan mereka menjadi simbolharmonisasi antara spiritualitas dan intelektualitas dalam tubuhNU dan dalam wajah Islam Indonesia yang moderat.
Buku Ajengan Cipasung dengan demikian tidak hanyamenghadirkan potret seorang ulama besar, tetapi juga memberikan inspirasi tentang bagaimana seorang tokoh mampumenjaga prinsip keagamaan sembari tetap relevan denganrealitas zaman.
Ini adalah buku yang sangat layak dibaca oleh santri, akademisi, dan siapa pun yang ingin meneladaniintegritas, keikhlasan, serta kontribusi nyata pesantren dalamkehidupan berbangsa dan bernegara. (Indi Nur Insani)
Discussion about this post