SANTRI.MEDIAJABAR.COM, BANDUNG – K-drama telah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak remaja, termasuk di antara kaum Muslim. Narasi yang menarik, visual yang indah, serta emosional yang mendalam menjadikan genre ini sangat populer. Namun, di balik kesenangan dan layar yang penuh cinta, terdapat pertanyaan penting yang perlu dipikirkan: apa dampak konsumsi drama Korea terhadap cara berpikir, identitas, dan nilai-nilai Islam bagi remaja saat ini?
Tidak dapat dipungkiri bahwa K-drama menawarkan banyak hal positif, seperti kerja keras, persahabatan, kasih sayang orang tua, dan semangat untuk mengatasi berbagai tantangan. Banyak penonton merasa terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang kuat dan cerita yang menyentuh. Beberapa nilai universal dalam drama tersebut juga sejalan dengan ajaran Islam, seperti kejujuran, pengorbanan, dan rasa tanggung jawab.
Namun, di sisi lain, ada juga konten yang secara tidak langsung memperlihatkan gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kebebasan bergaul, penggambaran alkohol, ciuman sebelum menikah, serta standar estetika tubuh. Remaja yang masih mencari jati diri dapat dengan mudah membandingkan kehidupannya dengan apa yang ditampilkan di layar. Hal ini seringkali menyebabkan ketidakpuasan terhadap kenyataan, sehingga mereka rentan terhadap krisis identitas atau masalah emosional.
Lebih jauh lagi, antusiasme terhadap aktor dan aktris bisa berujung pada perilaku fangirling atau fanboying yang berlebihan. Fenomena ini sering kali menciptakan ketidak-kritisan terhadap idola, menjadikan mereka sebagai “contoh hidup” hanya karena penampilan, popularitas, atau kekayaan—bukan karena akhlak atau nilai positif yang mereka tunjukkan. Dalam Islam, figur yang sepatutnya diteladani seharusnya memiliki sifat spiritual dan moral yang baik, bukan hanya daya tarik fisik dan ketenaran.
Namun, bukan berarti seluruh aspek drama Korea harus dihindari. Apa yang dibutuhkan adalah kesadaran yang selektif. Remaja Muslim perlu memiliki kemampuan untuk memilih apa yang mereka tonton, menyaring pesan yang diterima, serta menyadari bahwa tidak semua yang indah di layar bisa diterima begitu saja. Dalam era terbuka saat ini, yang paling penting bukan hanya menghindari hiburan, tetapi memperkuat iman dan nalar agar bisa bersikap bijak dan dewasa terhadap berbagai bentuk hiburan.
Pada akhirnya, drama Korea hanyalah refleksi dari budaya tertentu. Tugas kita bukan untuk membenci apa yang terlihat, tetapi untuk memahami bagaimana cara melihatnya dengan bijak. Remaja Muslim diperbolehkan menikmati hiburan, tetapi tetap harus menjadikan iman sebagai panduan utama. Di tengah kemewahan dunia hiburan, semoga masih ada ruang di dalam hati untuk bertanya: apakah tontonan kita mendekatkan kita kepada Allah, atau sebaliknya menjauhkan kita dari-Nya? (Lupita Dewi)
Discussion about this post