SANTRI.MEIDAJABAR.COM, BANDUNG – Pada zaman yang serba digital ini, akses untuk mempelajari Islam menjadi semakin mudah—hanya dengan membuka YouTube, TikTok, atau Instagram, kita bisa langsung mendapatkan ribuan video ceramah, potongan hadis, bahkan kajian yang banyak diperbincangkan. Fenomena ini menunjukkan adanya minat tinggi terhadap keislaman di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan anak muda.
Banyak yang mulai menunjukkan ketertarikan untuk mendalami agama, mempelajari istilah-istilah fikih, hingga meniru cara berpakaian yang dianggap Islami. Namun, hal yang perlu dipertanyakan adalah: apakah belajar Islam hanya dengan melalui layar gadget dan algoritma sosial media itu cukup? Apakah mendengarkan ceramah selama satu menit dapat mengungkap kompleksitas ajaran agama yang sarat dengan hikmah, konteks, serta kedalaman makna? Islam bukan hanya agama yang berdiri di atas semangat, tetapi juga mengharuskan pencarian ilmu dengan budi pekerti dan kedalaman pemahaman.
Proses belajar dalam Islam memiliki tradisi yang mendalam—dari talaqqi (belajar langsung dari guru), pemahaman terhadap maqashid al-shariah (tujuan hukum Islam), sampai ketelitian dalam menyampaikan ilmu. Jika tahapan ini terlewati, akan lahir generasi yang merasa sudah cukup berpengetahuan hanya karena sering menonton potongan-potongan dakwah, tanpa memahami konteks, tanpa mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan terkadang menyebarkan pemahaman yang tidak tepat atau setengah-setengah. Yang lebih ironis, sebagian dari mereka akhirnya merasa paling benar, gampang menyalahkan orang lain, dan menghakimi keislaman seseorang hanya berdasarkan penampilan luar atau tindakan tertentu.
Sementara itu, para ulama zaman dahulu membutuhkan puluhan tahun untuk menuntut ilmu, dengan penuh kepatuhan dan proses verifikasi dari satu guru ke guru lainnya. Media sosial bisa menjadi pintu gerbang awal dapat memberikan inspirasi, meningkatkan kesadaran, atau bahkan mendorong semangat untuk bertransformasi. Namun, platform tersebut tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber, apalagi menggantikan otoritas keilmuan.
Saat ini, kita berada di era di mana generasi muda sangat paham teknologi, namun bukan berarti semua yang viral itu dapat dipercaya. Belajar agama seharusnya tetap bergantung pada guru yang memiliki sanad ilmu yang jelas, pada komunitas yang sehat, serta menggunakan metode yang sudah teruji. Gadget mungkin dapat membuka akses, tetapi ilmu sejati tetap berkembang melalui ketekunan, kerendahan hati, dan bimbingan yang nyata—bukan dari algoritma. (Lupita Dewi)
Discussion about this post