JAKARTA – Kitab Kuning dan Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo menjadi salah satu topik yang menarik perhatian warganet. Dikutip dari CNN Indonesia, Kapolri berencana mewajibkan anggotanya belajar kitab kuning yang memancing reaksi PBNU, Sabtu (23/01/2021).
“Yang dimaksud itu bagaimana polisi menghayati spirit dari Islam yang tidak berkecenderungan pada pemisahan dan pendiskriminasian orang,” kata Rais Syuriah PBNU Masdar Farid Mas’udi.
Kitab Kuning identik dengan pondok pesantren yang merupakan pola pendidikan khas Agama Islam. Dikutip dari buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam, kitab kuning adalah kitab klasik yang ditulis beberapa abad yang lalu.
“Kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak bisa ditambah,” tulis Martin Van Bruinessen dalam karyanya.
Van Bruinessen menyebutkan, karya klasik dengan bahasa Arab dalam Kitab Kuning hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meski terdapat karya-karya baru, namun kandungan dalam Kitab Kuning tidak berubah.
Dalam bab berjudul Format Umum Kitab Kuning dijelaskan, kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren terdiri atas tiga jenis. Yaitu kitab komentar (syarh), komentar atas komentar (hasyiyah), dan teks yang lebih tua (matn, matan).
Apa isi Kitab Kuning
Kitab Kuning yang terdiri atas tiga jenis tersebut mempelajari berbagai bidang ilmu dalam agama Islam. Bidang lain yang dipelajari dalam Kitab Kuning adalah tata bahasa Arab, atau kerap disebut ilmu nahwu.
Tujuh kitab klasik atau dasar yang dipelajari di pesantren adalah:
1. Kitab Al-Jurumiyah yang mempelajari gramatika bahasa Arab.
2. Kitab Amtsilatu Tashrifiyah yang mempelajari perubahan pola kalimat dalam bahasa Arab (tashrif).
3. Kitab Mustholahul Hadits yang mempelajari seluk beluk ilmu hadist.
4. Kitab Arba’in Nawawi yang mempelajari dan memahami suatu hadist.
5. Kitab Taqrib yang mempelajari fiqh.
6. Kitab Aqidatul Awam yang mempelajari dasar aqidah.
7. Kitab Ta’limul Muta’alim yang mempelajari akhlak dan kerap dianggap puncak ilmu.
Dengan penjelasan ini maka Kitab Kuning tidak hanya terdiri atas satu buah buku. Kitab Kuning bisa terdiri atas puluhan atau ratusan jilid buku bergantung dari tingkat dan bidang yang dipelajari seorang santri.
Van Bruinessen menulis, buku-buku dalam Kitab Kuning menjadi bagian dari koleksi perpustakaan KITLV di Universitas Leiden. Koleksi merupakan hasil riset L.W.C Van den Berg tahun 1886 yang menyusun daftar buku teks utama di pesantren.
Apakah pengertian Kitab Kuning selalu berwarna kuning?
Sejarah penyebutan Kitab Kuning yang digunakan pesantren ternyata punya beberapa versi. Salah satunya tulisan yang terbit pada tahun 2003 dari Dirjen Kelembagaan Agama Islam berjudul Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah.
“Disebut Kitab Kuning karena pada umumnya dicetak di atas kertas berwarna kuning. Kitab-kitab tersebut umumnya tidak diberi harakat/syakal sehingga tidak jarang disebut juga sebagai kitab gundul,” tulis informasi tersebut.
Senada dengan tulisan dari Kementerian Agama, Ensiklopedia NU menjelaskan, pengertian Kitab Kuning mengacu pada kondisi kitab ketika sampai di Indonesia. Kitab dari Timur Tengah tersebut berwarna kekuning-kuningan sehingga disebut Kitab Kuning.
Penyebutan Kitab Kuning masih digunakan meski kondisi kitab tak selalu berwarna kuning. Isi Kitab Kuning bahkan sudah tersedia online, sehingga bisa diakses semua orang bukan cuma murid pondok pesantren.
Berbagai kitab yang masuk dalam koleksi Kitab Kuning ternyata tidak hanya dibuat ulama Timur Tengah. Van Bruinessen menyatakan, banyak ulama tanah air yang karyanya menjadi bagian dari Kitab Kuning.
Ulama pengarang Kitab Kuning:
Daftar ini hanya memuat beberapa ulama yang bukunya masuk dalam koleksi Kitab Kuning sesuai tulisan Van Bruinessen
1. Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah di Makkah.
2. Sayyid Bakri bin Muhammad Syaththa1 Al Dimyati.
3. Ibrahim Al-Bajuri atau Baijuri.
4. Da’ud bin Abdullah Al-Patani.
5. Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (Nawawi Banten).
6. Muhammad Arsyad Al-Banjari.
7. Abd Al-Shamad Al-Palimbani
8. Saleh Darat (Shalih bin Umar Al-Samarani).
9. KH Mahfuzh dari Termas (Mahfuzh bin ‘Abdullah Al- Tarmasi).
10. KH Ihsan b. Muhammad Dahlan dari Jampes, Kediri.
Penerbit Kitab Kuning di Indonesia antara lain Salim Nabhan di Surabaya, Menara Kudus di Kudus, Al-Munawwarah di Semarang, Raja Murah di Pekalongan, Misriyya di Cirebon, Al-Shafi`iyya dan At-Tahiriyya di Jakarta. Sebagian besar kitab yang diterbitkan sudah mengalami cetak ulang dari kitab asli yang terbit di Makkah, Beirut, atau Kairo. (Detik)
Discussion about this post